Senin, 18 Februari 2013

QANUN, 13/2003 PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG MAISIR (PERJUDIAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada hakikatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Meskipun demikian, berbagai macam dan bentuk perjudian dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit akut masyarakat, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya dari pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian.
Kelahiran UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah membawa Perkembangan baru bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga dapat leluasanya pemerintah Aceh untuk membuat aturan yang dapat mengatur rakyatnya dengan lebih baik, salah satunya adalah Qanun Aceh No.13 tahun 2003 tentang Larangan Maisir

B.       Tujuan
Pembahasan yang akan diuraikan dalam makalah ini adalah ditinjau dari segi perbedaan peraturan antara Qanun Aceh No.13 tahun 2003 dan Perda Sambas No.4 tahun 2004 terkait dengan Larangan Perjudian, dimana akan dibandingkan dari segi pengertian, sanksi yang menjerat, keputusan pengadilan, dan aturan-aturan lainnya. Kemudian akan dianalisis di antara keduanya mana yang sejalan dengan hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Maisir (Perjudian) dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Dan KUHP.
a.      Pengertian Judi
Judi dalam bahasa Arab yaitu al-Maisir, secara bahasa berarti mudah atau kekayaan. Sedangkan menurut istilah yaitu suatu bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan berhak mendapatkan taruhan tersebut.[1]
Quraish Shihab berpendapat bahwa perjudian dinamai Maisir, karena hasil perjudian diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa usaha kecuali menggunakan undian dibarengi oleh faktor untung-untungan.[2] Abdul Mujieb memahami judi sebagai taruhan atau suatu bentuk permainan untung-untungan dalam masalah harta benda yang dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan pada semua pihak.[3]
Menurut S.R. Sianturi perjudian adalah “tiap-tiap permainan yang pengharapan untuk menang hanyalah tergantung pada suatu keberuntungan semata-mata, kebetulan dan nasib dan rezeki saja.”[4] Pasal 1 sub 20 Qanun Maisir menentukan bahwa Maisir adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapat bayaran.
Pasal 303 ayat (3) KUHP menyebutkan, yang dikatakan main judi adalah: “yaitu tiap-tiap permainan, yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung pada untung-untungan saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain. Yang juga terhitung main judi ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala pertaruhan yang lainnya.”
Lebih lanjut dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa judi adalah permainan dengan memakai uang sebagai taruhan seperti main dadu, kartu dan sebagainya. Judi dapat juga bermakna mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar dari pada jumlah uang atau harta semula. Sedangkan judi buntut adalah perjudian liar dengan cara menebak nomor akhir dari undian resmi.[5]
Di dalam penjelasan resmi pada bagian umum Qanun Maisir dicantumkan kembali pengertian ini dengan redaksi: “Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan dalam bentuk permainan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.”
b.      Unsur utama dalam perbuatan Maisir (judi)
Dari pengertian-pengertian diatas dapat dinyatakan ada dua unsur utama dalam perbuatan Maisir (judi), yaitu:
1.      Ada taruhan (tebakan);
2.      Adanya pembayaran oleh pihak yang kalah (kalah bertaruh) kepada pihak yang pihak yang menang.[6]
Taruhan (tebakan) adalah pernyataan atau perbuatan untuk memilih salah satu dari beberapa kemungkinan yang didasarkan atas faktor kebetulan (untung-untungan). Mungkin sekali pemilihan tersebut tidak seluruhnya berdasarkan faktor kebetulan atau untung-untungan semata, tetapi ada juga misalnya pertimbangan pengalaman, catatan tentang keberhasilan dan kegagalan (pada masa sebelumnya), atau juga karena ketrampilan ataupun kelicikan.[7]
Akan tetapi bagaimanapun juga suatu perbuatan dikatakan bertaruh kalau penentuan (pemilihan) pemenang pada akhirnya didasarkan atas faktor untung-untungan. Sebagai contoh, kemenangan dalam bermain domino, relatif sangat ditentukan oleh buah (nomor batu) yang didapat; sebaliknya dalam permainan catur kemampuanlah yang relatif lebih dominan menentukan menang tidaknya salah satu pihak, karena para pihak memperoleh bidak dengan jumlah dan jenis yang sama.
Tetapi bagaimanapun, kemenangan dalam permainan ini pada akhirnya tetap mengandung unsur untung-untungan. Orang-orang yang berusaha menentukan (memilih) pemenang diantara pihak yang bermain sebelum permainan (pertarungan) dimulai, atau paling kurang sebelum permainan berakhir, dikatakan bertaruh karena penentuan itu (sampai batas tertentu) mereka dasarkan atas dugaan-dugaan, atau untung-untungan.[8]
Syarat yang kedua, ada pembayaran kepada pihak yang menang. Dalam perjudian tradisional, pembayaran dilakukan oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang secara langsung. Dalam perjudian yang lebih rumit, biasanya ada pihak ketiga yang menjadi Bandar, yang akan mengelola alur keuangan dan pembayaran dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang, disamping mengambil sebagiannya bahkan mungkin yang terbanyak untuk keuntungan Bandar tersebut. Dengan demikian, baik secara langsung ataupun tidak pihak yang kalahlah yang membayar kepada pihak yang menang. Kalau yang membayar tersebut pihak lain (bukan pihak yang bertaruh) maka pembayaran tersebut tidak termasuk judi, tetapi dapat dikelompokkan ke dalam pemberian hadiah. Begitu juga kalau mereka hanya menebak dan tidak ada pembayaran maka perbuatan tersebut bukanlah judi, walaupun barangkali sudah menyerempet ke perbuatan judi.[9]
Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa Maisir (perjudian) adalah suatu perbuatan (pertandingan/ pertarungan/ perlombaan) yang mengandung unsur taruhan antara dua orang atau lebih dimana yang menang memperoleh bayaran dari yang kalah, dan yang kalah harus menyerahkan harta kekayaannya kepada kepada pemenang.
Pasal 5 Qanun Maisir menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan Maisir. Yang dimaksud setiap orang dalam ayat ini dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1) disebutkan adalah orang yang beragama Islam. Kemudian pada ayat (2) dilanjutkan bahwa setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam.

Jadi, barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap isi Qanun Maisir dan pelaku termasuk dalam kategori sebagaimana penjelasan diatas maka terhadapnya dikenakan hukuman sebagaimana diancamkan Pasal 23 tentang ketentuan ‘uqubat.
Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa Maisir (perjudian) adalah suatu perbuatan (pertandingan/ pertarungan/ perlombaan) yang mengandung unsur taruhan antara dua orang atau lebih dimana yang menang memperoleh bayaran dari yang kalah, dan yang kalah harus menyerahkan harta kekayaannya kepada kepada pemenang.
Pasal 5 Qanun Maisir menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan Maisir. Yang dimaksud setiap orang dalam ayat ini dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1) disebutkan adalah orang yang beragama Islam. Kemudian pada ayat (2) dilanjutkan bahwa setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi, barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap isi Qanun Maisir dan pelaku termasuk dalam kategori sebagaimana penjelasan diatas maka terhadapnya dikenakan hukuman sebagaimana diancamkan Pasal 23 tentang ketentuan ‘uqubat.
Di dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) qanun diatas terdapat unsur-unsur:
1.    Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha. Maksudnya setiap orang atau badan hukum atau badan usaha menjadi sasaran dari penerapan isi qanun ini.
2.    Menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir. Maksudnya dilarang dan akan dikenakan hukuman bagi setiap orang atau badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir. Dengan menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir maka itu akan memberi kemudahan bagi pelaku perjudian dalam melaksanakan perbuatannya. Bila tetap dilakukan pelanggaran maka akan dikenakan hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 23 qanun ini.

3.    Menjadi pelindung terhadap perbuatan Maisir. Maksudnya setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang melindungi terhadap perbuatan Maisir. Melindungi disini maksudnya antara lain menutup-nutupi dari usaha penyidik melakukan penggerebekan orang yang sedang melakukan perjudian atau menghalang-halangi pekerjaan penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi.
Pasal 7 berbunyi: “Instansi Pemerintah dilarang memberi izin usaha penyelenggaran Maisir.” Yang dimaksud dengan izin usaha termasuk izin untuk menyelenggarakan keramaian, pameran, pertunjukan dan lain-lain. Jadi Instansi Pemerintah tidak boleh memberi izin usaha penyelenggaraan Maisir karena jika diberikan itu sama saja membuka peluang orang untuk melakukan perbuatan Maisir.
Menurut penjelasan Pasal 303 KUHP unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut:
1.      Mengadakan atau memberikan kesempatan main judi sebagai pencaharian tanpa izin yang berwajib.
Maksudnya seseorang menyediakan tempat untuk permainan judi dan dengan adanya permainan judi itu, seorang memperoleh atau mendapatkan suatu komisi atau hadiah, dimana komisi atau hadiah itu harus terus berlangsung yang merupakan pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penyediaan tempat atau kesempatan pada pemain judi untuk melakukan permainan judi tidak dengan izin dari yang berwajib.
2.      Turut campur dalam hal tersebut diatas.
Maksudnya ikut terlibat untuk adanya permainan judi, artinya menjaga, mengawasi atau membeking kemungkinan penggerebekan dari yang berwajib, oleh karena pemain judi itu tidak ada izin yang berlangsung sampai pemain itu selesai.
3.      Mengadakan atau memberi kesempatan kepada umum di tempat umum atau tempat yang dapat dikunjungi oleh umum, walaupun bukan sebagai pencaharian.
Maksudnya seseorang yang menyediakan, memberi kesempatan bukan karena maksud memperoleh suatu komisi atau hadiah, tetapi di tempat yang mudah dilihat oleh masyarakat tanpa izin dari yang berwajib.
4.      Turut main judi sebagai mata pencaharian.
Unsur ini sangat jelas bahwa seseorang yang mengantungkan hidupnya pada permainan judi dan langsung sebagai permainan judi adalah dapat dituntut berdasarkan pasal 303 KUHP.
Sehubungan dengan pasal 303 ini, Moch Anwar menjelaskan bahwa dalam ayat (1) ada dua jenis kejahatan:
1)      Mengajukan atau memberikan kesempatan berjudi sebagai mata pencaharian.
2)      Turut campur dalam perusahaan main judi.
Perbuatan memajukan berarti setiap pemberitahuan secara lisan yang memberikan kesempatan oleh pelaku yang mengajukan. Pemberitahuan dari seseorang bahwa orang lain memberikan kesempatan, tidak berarti mengajukan.
Memberikan kesempatan adalah setiap perbuatan membuka kesempatan, bukan memperkenankan, menyediakan tempat atau alat-alat judi.
Sebagai mata pencaharian, mata pencaharian pada umumnya untuk mencari makan guna kelangsungan hidupnya. Dan ini dapat dinyatakan; apabila dilakukan secara berulang. Suatu perbuatan dalam mata pencaharian dapat tampak secara nyata apabila perbuatan dibayar, tetapi juga dapat juga disimpulkan dari pembayaran, bahwa terdapat perbuatan dalam mata pencaharian, meskipun tidak terjadi penangulangan atas perbuatan itu. Turut campur atau turut serta dalam perusahaan dapat meliputi perbuatan-perbuatan:
a)      Menyediakan keuangan untuk usaha itu
b)      Turut serta dalam organisasi
c)      Membina atau meningkatkan pendirian atas usaha itu.
Pelaku-pelaku itu melakukan perbuatan-perbuatan turut serta untuk kepentingan peningkatan atau pemberian kesempatan permainan judi. Kepada umum dapat dipenuhi cukup dengan ruang atau gedung.[10]
Menurut S.R. Sianturi unsur tindakan yang dilarang pada ayat (1) pasal 303 KUHP ada lima golongan yaitu:
1)      Melakukan sebagai usahanya atau mempunyai usaha untuk menawarkan/ memberikan kesempatan melakukan permainan judi. Unsur penting disini adalah melakukan sebagai usahanya, misalnya menyediakan suatu ruangan untuk permainan judi roulette.
2)      Turut serta melakukan sebagai usahanya untuk menawarkan dan seterusnya seperti yang disebutkan pada nomor satu.
3)      Menawarkan atau memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk melakukan permainan judi. Ini tidak dipersoalkan apakah ini dijadikan usahanya atau tidak. Pokoknya ia sedang menghubungi orang-orang dan menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi.
4)      Turut serta menawarkan atau memberi kesempatan untuk permainan judi seperti tersebut diatas.
5)      Melakukan usaha main judi sebagai usaha atau pekerjaannya.[11]
Unsur subjek pada ayat (1) ke-1 ada dua golongan yaitu:
1)      Seseorang yang melakukan sebagai usaha untuk menawarkan kesempatan (mengundang) orang-orang lain untuk bermain judi pada waktu dan tempat yang telah disediakan, atau seseorang yang memberi kesempatan untuk orang lain bermain judi di tempat yang disediakan (dia sendiri tidak ikut bermain judi).
2)      Seseorang yang turut serta melakukan sebagai usahanya untuk menawarkan/ memberikan kesempatan seperti yang tersebut diatas.

Unsur subjek pada ayat (1) ke-2 ada dua golongan yaitu:
1)      Seseorang yang menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak umum untuk melakukan permainan judi tanpa mempersoalkan apakah diadakan atau tidak diadakan suatu persyaratan untuk menggunakan kesempatan yang ditawarkan atau diberikan itu, atau mempersoalkan apakah sudah atau tidak memenuhi suatu tata cara yang ditentukan.
2)      Seseorang yang turut serta melakukan seperti yang tersebut diatas.
3)      Unsur pada ayat (1) ke-3 yaitu: seseorang yang pekerjaannya (usahanya) bermain judi atau sebutlah “penjudi”. Bukan yang menggunakan kesempatan untuk bermain judi, yang dapat disebut sebagai “penjudi karena ada kesempatan”, yang merupakan subjek dari Pasal 303 bis.
Pada ayat (2), ditentukan tentang pidana tambahan jika dilakukan ketika menjalankan pekerjaannya/ mata pencahariannya misalnya ia pengusaha hotel, lalu menyediakan/ mengadakan di hotel tempat permainan judi, maka pekerjaannya sebagai pengusaha hotel tersebut dicabut.
Dengan demikian maka dapat dihukum menurut Pasal 303 KUHP adalah Bandar atau seseorang yang memberikan kesempatan atau mengadakan permainan judi, pengawal permainan judi (beking), seseorang Bandar yang mengadakan atau memberikan kesempatan dimuka umum walaupun bukan sebagai pencaharian, dan pemain atau peserta pemain judi itu sebagai mata pencaharian.
Sedangkan orang-orang yang ikut pada permainan judi dikenakan Pasal 303 bis KUHP yaitu:
1)      Pemain atau peserta permainan judi sebagai mana dinyatakan dalam Pasal 303 KUHP walaupun bukan sebagai mata pencaharian.
2)      Para peserta permainan judi di tempat umum atau di jalan umum atau tempat yang dapat dikunjungi oleh umum tanpa izin dari yang berwajib.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka yang dapat dihukum menurut Pasal 303 bis KUHP adalah orang-orang yang ikut serta bermain judi. Disini tidak perlu sebagai mata pencaharian akan tetapi turut bermain judi di jalanan umum atau tempat-tempat yang dapat dikunjungi umum tanpa izin dari yang berwajib.
B.       Teori Tentang Sebab Timbulnya Perjudian Dan Usaha Pencegahannya.
a.    Teori Sebab Timbulnya Judi
Sebab-sebab timbulnya perjudian dapat dikaitkan menyangkut segala aspek kegiatan dan kehidupan masayarakat sekarang ini yang mempunyai latar belakang berbeda-beda. Seperti kita ketahui tingkatan masyarakat secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.      Kelompok masyarakat yang ekonominya kuat (The Have).
Bagi mereka yang tergolong ekonominya kuat (The Have), menghabiskan waktu senggangnya dengan jalan bermain judi mempertaruhkan uangnya dalam jumlah besar. Mereka bermain judi hanya sekedar melepaskan suatu rasa kesepian atau mencari hiburan dari kesibukan kerjanya. Bahkan bagi golongan ini judi itu menjadi simbol status sosial yang tinggi dan menjadi lambang “entree” seseorang kedalam stratatifikasi klas “The Haves”.
2.      Kelompok menengah atau sedang.
Di lain pihak, kelompok menengah yang melakukan permainan judi adalahdisebabkan tertarik untuk memperoleh suatu kemenangan. Kelompok ini adalah kelompok yang menjurus pada perbuatan pidana (korupsi, penggelapan). Perbuatan kejahatan tersebut dilakukan untuk mengembalikan apa yang telah hilang dalam permainan judi.
3.      Kelompok masyarakat yang ekonominya rendah.
Kelompok terbesar yang ikut, dalam permainan judi adalah kelompok yang taraf hidupnya masih rendah seperti tukang becak, bakul-bakul, penjual kecil, pegawai-pegawai rendah, buruh harian, kuli-kuli yang tidak berpengharapan dan lain-lain yang berpenghasilan sangat kecil dan hampir tidak mencukupi bagi jaminan hidup bagi anggota keluarganya. Pada umumnya mereka itu menaruh harapan “semu” untuk melipat gandakan uangnya. Gaji yang sangat minim, kondisi hidup yang tidak menentu, ditambah dengan depresi ekonomi yang terasa makin berat, menyebabkan mereka tidak berpengharapan dan sering berputus asa. Lalu berlangsunglah lompatan mental pada pola kebiasaan spekulatif untung-untungan dengan jalan berjudi, mengadakan pertaruhan, disertai pengaharapan mendapat sedikit keuntungan dan tambahan uang belanja.[12]
Ditambah dengan apatisme dan ketidaktahuan dengan cara bagaimana mereka harus memperbaiki taraf kehidupan keluarga dan diri sendiri dalam krisis ekonomi. Semua itu mendorong mereka mempertaruhkan sebahagian penghasilannya dengan bermain judi.
Sebab-sebab lain permainan judi ini timbul, tidak dapat kita lepaskan dari pengaruh lingkungan, pendidikan formal dasar (agama) yang tipis dan keputusasaan dalam mencari penghasilan yang tetap untuk menjamin kehidupan sehari-hari.
Dapat diakui bahwa akses perjudian itu bisa merangsang orang untuk berbuat kriminal seperti mencuri, merampok, korupsi, menggelapkan kas Negara dan melakukan macam-macam tindakan susila lainnya.[13]
Menurut norma Jawa, judi digolongkan dalam aktifitas 5-M (ma-lima) yang harus disingkirkan. Karena judi itu dapat membuat orang menjadi malas, tidak mengenal rasa malu, berkulit dan bermuka tebal, memakan harta orang lain dengan curang, menimbulkan permusuhan, kebencian, memalingkan diri dari ingat kepada Allah SWT, merusak pendidikan juga mendorong orang untuk selalu “merebut” kemenangan dan menjadikan dirinya serakah serta gila kemenangan. Adapun 5-M itu adalah:
1)      Minum-minuman keras dan mabuk-mabukan.
2)      Madon, bermain dengan wanita pelacur.
3)      Maling, mencuri.
4)      Madat, minum candu, bahan narkotika, ganja dan lain-lain.
5)      Main judi bebatoh, berjudi dan bertaruh.[14]
Pada masa sekarang ini khususnya di kota-kota besar dan kota-kota dagang serta industri, norma-norma susila menjadi longgar dan sanksi-sanksi sosial jadi lemah. Juga keyakinan akan norma-norma religius jadi menipis. Ketentuan-ketentuan agama dalam pelarangan perjudian tidak dihiraukan sama sekali, sebabnya ialah:
1.      Sebagian anggota masyarakat sudah kecanduan perjudian, taruhan dan lottere yang semuanya bersifat untung-untungan. Maka via perjudian dan pertaruhan mereka mengharapkan keuntungan besar dalam waktu pendek dengan cara yang mudah untuk kemudian dapat merambat status sosial yang tinggi.
2.      Perjudian itu dianggap sebagai peristiwa biasa sehingga orang bersikap acuh tak acuh terhadapnya.[15]
Dengan demikian sebab-sebab timbulnya perjudian dapat dikatakan menyangkut segala aspek kegiatan dan kehidupan masyarakat, sehingga dapat di bayangkan bahwa untuk memberantas permainan judi hampir-hampir merupakan fiksi sebagaimana memberantas pelacuran.
b.      Usaha Pencegahannya
Dalam usaha-usaha pencegahannya, pemerintah harus mengambil langkah dan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasi sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju penghapusan sama sekali dari seluruh Indonesia.
Menurut Kartini Kartono usaha yang mungkin dilakukan sebagai pencegahan adalah sebagai berikut:
1)      Mengadakan perbaikan ekonomi nasional secara menyeluruh menetapkan undang-undang atau peraturan yang menjamin gaji minimum bagi buruh, pekerja dan pegawai yang sepadan dengan biaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Memperluas lapangan kerja, sandangpangan serba murah, dan adanya jaminan perumahan. Rasa aman terjamin secara sosial pasti akan sangat mengurangi nafsu-nafsu berspekulasi dan kecenderungan main untung-untungan dengan menyertakan pertaruhan (berjudi).
2)      Adanya keseimbangan antar budget dipusat dan didaerah-daerah periferi. Sebab, oleh adanya diskriminasi pemberian budget, timbullah kemudian rasa tidak puas. Lalu orang bergerak mengadakan usaha-usaha penambahan biaya pembangunan dan pemeliharaan dengan cara-cara inkonvensional dengan perjudian.
3)      Menyediakan tempat-tempat hiburan dan rekreasi yang sehat. Disertai intensifikasi pendidikan pendidikan mental dan ajaran-ajaran agama.
4)      Khusus untuk mengurangi jumlah judi buntut, dengan jalan menurunkan nilai jumlah hadiah tertinggi dari macam-macam lottere resmi, lalu menambah jumlah hadiah-hadiah hiburan lainnya. Dengan begitu Bandar-bandar dan agen-agen akan lenyap dengan sendirinya.
5)      Lokalisasi perjudian khusus bagi wisatawan-wisatawan asing, golongan ekonomi kuat (kaum The Haves). Dengan memberikan konsensi pembukaan kasino-kasino dan tempat-tempat judi, kegiatan-kegiatan bisa diawasi. Diadakan pelanggaran memasuki kasino-kasino mewah bagi golongan masyarakat tertentu. Misalnya rakyat jelata tidak diperkenankan masuk, dan dikhususkan bagi para wisatawan, orang-orang berduit, warga negara keturunan asing dengan ekonomi kuat, dan lain-lain. Khususnya judi jenis ini diadakan untuk menyedot “uang panas” yang banyak beredar di sektor komersial, guna dimanfaatkan sebagai pembiayaan pembangunan. Keuntungan lain dari lokalisasi tersebut ialah: rakyat tidak menjadi korban penipuan Bandar-bandar gelap.
6)      Alternatif lain ialah: larangan praktek judi disertai tindakan reventif dan unitif (hukum dan sanksi) secara konsekwen dan tidak secara setengah-tengah.[16]
Dengan cara yang demikian diharapkan permainan judi secara maksimal dapat menurun intensitasnya, dan untuk selanjutnya diberantas hingga hilang sama sekali di Indonesia.


BAB III
P E N U T U P

KESIMPULAN
      Dari pembahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa judi adalah suatu permainan dengan memakai uang sebagai taruhan seperti main dadu, kartu dan sebagainya. Judi dapat juga bermakna mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar dari pada jumlah uang atau harta semula. Sedangkan judi buntut adalah perjudian liar dengan cara menebak nomor akhir dari undian resmi.
Di dalam penjelasan resmi pada bagian umum Qanun Maisir dicantumkan kembali pengertian ini dengan redaksi: “Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan dalam bentuk permainan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.”


DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Hossen, Apakah Judi Itu?, Lembaga Kajian Ilmu IIQ, Jakarta, 1987

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. I, Lentera Hati, Jakarta, 2000,

Sianturi, S.R Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AIIM-PTHM, Jakarta, 1983

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1999

Al-Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005

Moch Anwar, Hukum Pidana Bahagian Khusus (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II), Alumni,: Bandung, 1978



[1] Ibrahim Hossen, Apakah Judi Itu?, Lembaga Kajian Ilmu IIQ, Jakarta, 1987, hal. 19.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. I, Lentera Hati, Jakarta, 2000, hal. 437.
[3] Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqih, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hal. 142.
[4] S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AIIM-PTHM, Jakarta, 1983, hal. 278.
[5] Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hal. 200.
[6] Al-Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005, hal. 266.
[7] Ibid, hal. 267.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hal. 268.
[10] Moch Anwar, Hukum Pidana Bahagian Khusus (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II), Alumni, Bandung, 1978, hal. 225
[11] S.R. Sianturi, Op. Cit, hal. 200.
[12] Hepy Parenza, Tindak Pidana Perjudian (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Lhokseumawe), Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, 2005, hal. 22.
[13] Abdul Rasyid, Tindak Pidana Perjudian, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, 1977, hal. 24.
[14] Abd Al-‘Admizim Ma’ani, Ahmad Al-Ghundur, Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, Secara Etimologi Sosial dan Syariat, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2003, hal. 43.
[15] Kartini Kartono, Dalil Mutiara Tafsir KUHP, disadur oleh Bintang Indonesia, Jakarta, 1992, hal. 203.
[16] Ibid, hal. 84.