BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada hakikatnya
perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral,
kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. Meskipun demikian, berbagai macam dan bentuk
perjudian dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara
sembunyi-sembunyi. Dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu
tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1
UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak
pidana perjudian sebagai kejahatan. Mengingat masalah perjudian sudah menjadi
penyakit akut masyarakat, maka perlu upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis,
tidak hanya dari pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari
kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu
menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian.
Kelahiran UU No. 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Di Propinsi Daerah Istimewa
Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah membawa
Perkembangan baru bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga dapat
leluasanya pemerintah Aceh untuk membuat aturan yang dapat mengatur rakyatnya
dengan lebih baik, salah satunya adalah Qanun Aceh No.13 tahun 2003 tentang
Larangan Maisir
B.
Tujuan
Pembahasan
yang akan diuraikan dalam makalah ini adalah ditinjau dari segi perbedaan
peraturan antara Qanun Aceh No.13 tahun 2003 dan Perda Sambas No.4 tahun 2004
terkait dengan Larangan Perjudian, dimana akan dibandingkan dari segi
pengertian, sanksi yang menjerat, keputusan pengadilan, dan aturan-aturan
lainnya. Kemudian akan dianalisis di antara keduanya mana yang sejalan dengan
hukum Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Maisir (Perjudian) dalam Qanun Nomor 13 Tahun
2003 Dan KUHP.
a. Pengertian Judi
Judi dalam bahasa Arab
yaitu al-Maisir, secara bahasa berarti mudah atau kekayaan. Sedangkan
menurut istilah yaitu suatu bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan
orang yang menang dalam permainan berhak mendapatkan taruhan tersebut.[1]
Quraish Shihab berpendapat
bahwa perjudian dinamai Maisir, karena hasil perjudian diperoleh
dengan cara yang gampang, tanpa usaha kecuali menggunakan undian dibarengi oleh
faktor untung-untungan.[2] Abdul
Mujieb memahami judi sebagai taruhan atau suatu bentuk permainan untung-untungan
dalam masalah harta benda yang dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan pada
semua pihak.[3]
Menurut
S.R. Sianturi perjudian adalah “tiap-tiap permainan yang pengharapan untuk menang
hanyalah tergantung pada suatu keberuntungan semata-mata, kebetulan dan
nasib dan rezeki saja.”[4] Pasal
1 sub 20 Qanun Maisir menentukan bahwa Maisir adalah kegiatan dan/atau
perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang
menang mendapat bayaran.
Pasal
303 ayat (3) KUHP menyebutkan, yang dikatakan main judi adalah: “yaitu
tiap-tiap permainan, yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya
bergantung pada untung-untungan saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi
bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain. Yang juga terhitung
main judi ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain,
yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian
juga segala pertaruhan yang lainnya.”
Lebih
lanjut dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa judi adalah permainan dengan memakai
uang sebagai taruhan seperti main dadu, kartu dan sebagainya. Judi dapat juga
bermakna mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan
berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih
besar dari pada jumlah uang atau harta semula. Sedangkan judi buntut adalah
perjudian liar dengan cara menebak nomor akhir dari undian resmi.[5]
Di
dalam penjelasan resmi pada bagian umum Qanun Maisir dicantumkan kembali
pengertian ini dengan redaksi: “Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau
perbuatan dalam bentuk permainan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau
lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.”
b. Unsur utama dalam perbuatan Maisir
(judi)
Dari
pengertian-pengertian diatas dapat dinyatakan ada dua unsur utama dalam
perbuatan Maisir (judi), yaitu:
1. Ada
taruhan (tebakan);
2. Adanya
pembayaran oleh pihak yang kalah (kalah bertaruh) kepada pihak yang pihak yang
menang.[6]
Taruhan
(tebakan) adalah pernyataan atau perbuatan untuk memilih salah satu dari
beberapa kemungkinan yang didasarkan atas faktor kebetulan (untung-untungan).
Mungkin sekali pemilihan tersebut tidak seluruhnya berdasarkan faktor kebetulan
atau untung-untungan semata, tetapi ada juga misalnya pertimbangan pengalaman,
catatan tentang keberhasilan dan kegagalan (pada masa sebelumnya), atau juga
karena ketrampilan ataupun kelicikan.[7]
Akan
tetapi bagaimanapun juga suatu perbuatan dikatakan bertaruh kalau penentuan
(pemilihan) pemenang pada akhirnya didasarkan atas faktor untung-untungan.
Sebagai contoh, kemenangan dalam bermain domino, relatif sangat
ditentukan oleh buah (nomor batu) yang didapat; sebaliknya dalam permainan
catur kemampuanlah yang relatif lebih dominan menentukan menang tidaknya salah
satu pihak, karena para pihak memperoleh bidak dengan jumlah dan jenis yang
sama.
Tetapi bagaimanapun,
kemenangan dalam permainan ini pada akhirnya tetap mengandung unsur
untung-untungan. Orang-orang yang berusaha menentukan (memilih) pemenang
diantara pihak yang bermain sebelum permainan (pertarungan) dimulai, atau
paling kurang sebelum permainan berakhir, dikatakan bertaruh karena penentuan
itu (sampai batas tertentu) mereka dasarkan atas dugaan-dugaan, atau
untung-untungan.[8]
Syarat yang kedua, ada
pembayaran kepada pihak yang menang. Dalam perjudian tradisional, pembayaran
dilakukan oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang secara langsung. Dalam
perjudian yang lebih rumit, biasanya ada pihak ketiga yang menjadi Bandar, yang
akan mengelola alur keuangan dan pembayaran dari pihak yang kalah kepada pihak
yang menang, disamping mengambil sebagiannya bahkan mungkin yang terbanyak
untuk keuntungan Bandar tersebut. Dengan demikian, baik secara langsung ataupun
tidak pihak yang kalahlah yang membayar kepada pihak yang menang. Kalau yang
membayar tersebut pihak lain (bukan pihak yang bertaruh) maka pembayaran
tersebut tidak termasuk judi, tetapi dapat dikelompokkan ke dalam pemberian
hadiah. Begitu juga kalau mereka hanya menebak dan tidak ada pembayaran maka
perbuatan tersebut bukanlah judi, walaupun barangkali sudah menyerempet ke
perbuatan judi.[9]
Dari beberapa defenisi
di atas dapatlah disimpulkan bahwa Maisir (perjudian) adalah suatu perbuatan
(pertandingan/ pertarungan/ perlombaan) yang mengandung unsur taruhan antara
dua orang atau lebih dimana yang menang memperoleh bayaran dari yang kalah, dan
yang kalah harus menyerahkan harta kekayaannya kepada kepada pemenang.
Pasal
5 Qanun Maisir menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan Maisir. Yang
dimaksud setiap orang dalam ayat ini dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1)
disebutkan adalah orang yang beragama Islam. Kemudian pada ayat (2) dilanjutkan
bahwa setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam.
Jadi,
barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap isi Qanun Maisir dan pelaku
termasuk dalam kategori sebagaimana penjelasan diatas maka terhadapnya
dikenakan hukuman sebagaimana diancamkan Pasal 23 tentang ketentuan ‘uqubat.
Dari
beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa Maisir (perjudian) adalah
suatu perbuatan (pertandingan/ pertarungan/ perlombaan) yang mengandung unsur
taruhan antara dua orang atau lebih dimana yang menang memperoleh bayaran dari
yang kalah, dan yang kalah harus menyerahkan harta kekayaannya kepada kepada
pemenang.
Pasal
5 Qanun Maisir menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan Maisir. Yang
dimaksud setiap orang dalam ayat ini dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1)
disebutkan adalah orang yang beragama Islam. Kemudian pada ayat (2) dilanjutkan
bahwa setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi,
barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap isi Qanun Maisir dan
pelaku termasuk dalam kategori sebagaimana penjelasan diatas maka terhadapnya
dikenakan hukuman sebagaimana diancamkan Pasal 23 tentang ketentuan ‘uqubat.
Di dalam Pasal
6 ayat (1) dan (2) qanun diatas terdapat unsur-unsur:
1. Setiap
orang atau badan hukum atau badan usaha. Maksudnya setiap orang atau badan
hukum atau badan usaha menjadi sasaran dari penerapan isi qanun ini.
2. Menyelenggarakan
dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir.
Maksudnya dilarang dan akan dikenakan hukuman bagi setiap orang atau badan
hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada
orang yang akan melakukan perbuatan Maisir. Dengan menyelenggarakan dan/atau
memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir maka itu
akan memberi kemudahan bagi pelaku perjudian dalam melaksanakan perbuatannya.
Bila tetap dilakukan pelanggaran maka akan dikenakan hukuman sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 qanun ini.
3. Menjadi
pelindung terhadap perbuatan Maisir. Maksudnya setiap orang atau badan hukum
atau badan usaha dilarang melindungi terhadap perbuatan Maisir. Melindungi
disini maksudnya antara lain menutup-nutupi dari usaha penyidik melakukan
penggerebekan orang yang sedang melakukan perjudian atau menghalang-halangi
pekerjaan penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi.
Pasal
7 berbunyi: “Instansi Pemerintah dilarang memberi izin usaha penyelenggaran
Maisir.” Yang dimaksud dengan izin usaha termasuk izin untuk menyelenggarakan
keramaian, pameran, pertunjukan dan lain-lain. Jadi Instansi Pemerintah tidak
boleh memberi izin usaha penyelenggaraan Maisir karena jika diberikan itu sama
saja membuka peluang orang untuk melakukan perbuatan Maisir.
Menurut
penjelasan Pasal 303 KUHP unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah
sebagai berikut:
1. Mengadakan
atau memberikan kesempatan main judi sebagai pencaharian tanpa izin yang
berwajib.
Maksudnya seseorang
menyediakan tempat untuk permainan judi dan dengan adanya permainan judi itu,
seorang memperoleh atau mendapatkan suatu komisi atau hadiah, dimana komisi
atau hadiah itu harus terus berlangsung yang merupakan pencaharian untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penyediaan tempat atau kesempatan pada pemain
judi untuk melakukan permainan judi tidak dengan izin dari yang berwajib.
2.
Turut campur dalam hal tersebut diatas.
Maksudnya
ikut terlibat untuk adanya permainan judi, artinya menjaga, mengawasi atau membeking
kemungkinan penggerebekan dari yang berwajib, oleh karena pemain judi itu tidak
ada izin yang berlangsung sampai pemain itu selesai.
3.
Mengadakan atau memberi kesempatan
kepada umum di tempat umum atau tempat yang dapat dikunjungi oleh umum, walaupun
bukan sebagai pencaharian.
Maksudnya
seseorang yang menyediakan, memberi kesempatan bukan karena maksud memperoleh
suatu komisi atau hadiah, tetapi di tempat yang mudah dilihat oleh masyarakat
tanpa izin dari yang berwajib.
4.
Turut main judi sebagai mata pencaharian.
Unsur
ini sangat jelas bahwa seseorang yang mengantungkan hidupnya pada permainan
judi dan langsung sebagai permainan judi adalah dapat dituntut berdasarkan
pasal 303 KUHP.
Sehubungan dengan pasal
303 ini, Moch Anwar menjelaskan bahwa dalam ayat (1) ada dua jenis kejahatan:
1) Mengajukan
atau memberikan kesempatan berjudi sebagai mata pencaharian.
2) Turut
campur dalam perusahaan main judi.
Perbuatan
memajukan berarti setiap pemberitahuan secara lisan yang memberikan kesempatan
oleh pelaku yang mengajukan. Pemberitahuan dari seseorang bahwa orang lain
memberikan kesempatan, tidak berarti mengajukan.
Memberikan
kesempatan adalah setiap perbuatan membuka kesempatan, bukan memperkenankan,
menyediakan tempat atau alat-alat judi.
Sebagai
mata pencaharian, mata pencaharian pada umumnya untuk mencari makan guna
kelangsungan hidupnya. Dan ini dapat dinyatakan; apabila dilakukan secara
berulang. Suatu perbuatan dalam mata pencaharian dapat tampak secara nyata
apabila perbuatan dibayar, tetapi juga dapat juga disimpulkan dari pembayaran,
bahwa terdapat perbuatan dalam mata pencaharian, meskipun tidak terjadi
penangulangan atas perbuatan itu. Turut campur atau turut serta dalam
perusahaan dapat meliputi perbuatan-perbuatan:
a) Menyediakan
keuangan untuk usaha itu
b) Turut
serta dalam organisasi
c) Membina
atau meningkatkan pendirian atas usaha itu.
Pelaku-pelaku
itu melakukan perbuatan-perbuatan turut serta untuk kepentingan peningkatan
atau pemberian kesempatan permainan judi. Kepada umum dapat dipenuhi cukup
dengan ruang atau gedung.[10]
Menurut
S.R. Sianturi unsur tindakan yang dilarang pada ayat (1) pasal 303 KUHP ada
lima golongan yaitu:
1) Melakukan
sebagai usahanya atau mempunyai usaha untuk menawarkan/ memberikan kesempatan
melakukan permainan judi. Unsur penting disini adalah melakukan sebagai
usahanya, misalnya menyediakan suatu ruangan untuk permainan judi roulette.
2) Turut
serta melakukan sebagai usahanya untuk menawarkan dan seterusnya seperti yang
disebutkan pada nomor satu.
3) Menawarkan
atau memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk melakukan permainan judi.
Ini tidak dipersoalkan apakah ini dijadikan usahanya atau tidak. Pokoknya ia
sedang menghubungi orang-orang dan menawarkan atau memberikan kesempatan untuk
bermain judi.
4) Turut
serta menawarkan atau memberi kesempatan untuk permainan judi seperti tersebut
diatas.
5) Melakukan
usaha main judi sebagai usaha atau pekerjaannya.[11]
Unsur
subjek pada ayat (1) ke-1 ada dua golongan yaitu:
1) Seseorang
yang melakukan sebagai usaha untuk menawarkan kesempatan (mengundang) orang-orang
lain untuk bermain judi pada waktu dan tempat yang telah disediakan, atau
seseorang yang memberi kesempatan untuk orang lain bermain judi di tempat yang
disediakan (dia sendiri tidak ikut bermain judi).
2) Seseorang
yang turut serta melakukan sebagai usahanya untuk menawarkan/ memberikan
kesempatan seperti yang tersebut diatas.
Unsur subjek pada ayat (1) ke-2 ada dua
golongan yaitu:
1) Seseorang
yang menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak umum untuk melakukan
permainan judi tanpa mempersoalkan apakah diadakan atau tidak diadakan suatu
persyaratan untuk menggunakan kesempatan yang ditawarkan atau diberikan itu,
atau mempersoalkan apakah sudah atau tidak memenuhi suatu tata cara yang
ditentukan.
2) Seseorang
yang turut serta melakukan seperti yang tersebut diatas.
3) Unsur
pada ayat (1) ke-3 yaitu: seseorang yang pekerjaannya (usahanya) bermain judi
atau sebutlah “penjudi”. Bukan yang menggunakan kesempatan untuk bermain judi,
yang dapat disebut sebagai “penjudi karena ada kesempatan”, yang merupakan subjek
dari Pasal 303 bis.
Pada
ayat (2), ditentukan tentang pidana tambahan jika dilakukan ketika menjalankan
pekerjaannya/ mata pencahariannya misalnya ia pengusaha hotel, lalu menyediakan/
mengadakan di hotel tempat permainan judi, maka pekerjaannya sebagai pengusaha
hotel tersebut dicabut.
Dengan
demikian maka dapat dihukum menurut Pasal 303 KUHP adalah Bandar atau seseorang
yang memberikan kesempatan atau mengadakan permainan judi, pengawal permainan
judi (beking), seseorang Bandar yang mengadakan atau memberikan kesempatan
dimuka umum walaupun bukan sebagai pencaharian, dan pemain atau peserta pemain
judi itu sebagai mata pencaharian.
Sedangkan orang-orang
yang ikut pada permainan judi dikenakan Pasal 303 bis KUHP yaitu:
1)
Pemain atau peserta permainan judi
sebagai mana dinyatakan dalam Pasal 303 KUHP walaupun bukan sebagai mata
pencaharian.
2) Para
peserta permainan judi di tempat umum atau di jalan umum atau tempat yang dapat
dikunjungi oleh umum tanpa izin dari yang berwajib.
Berdasarkan
ketentuan tersebut maka yang dapat dihukum menurut Pasal 303 bis KUHP adalah
orang-orang yang ikut serta bermain judi. Disini tidak perlu sebagai mata
pencaharian akan tetapi turut bermain judi di jalanan umum atau tempat-tempat
yang dapat dikunjungi umum tanpa izin dari yang berwajib.
B.
Teori
Tentang Sebab Timbulnya Perjudian Dan Usaha Pencegahannya.
a. Teori Sebab Timbulnya Judi
Sebab-sebab timbulnya
perjudian dapat dikaitkan menyangkut segala aspek kegiatan dan kehidupan
masayarakat sekarang ini yang mempunyai latar belakang berbeda-beda. Seperti
kita ketahui tingkatan masyarakat secara garis besarnya dapat dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu:
1.
Kelompok masyarakat yang ekonominya kuat
(The Have).
Bagi mereka yang
tergolong ekonominya kuat (The Have), menghabiskan waktu senggangnya dengan
jalan bermain judi mempertaruhkan uangnya dalam jumlah besar. Mereka bermain
judi hanya sekedar melepaskan suatu rasa kesepian atau mencari hiburan dari
kesibukan kerjanya. Bahkan bagi golongan ini judi itu menjadi simbol status
sosial yang tinggi dan menjadi lambang “entree” seseorang kedalam
stratatifikasi klas “The Haves”.
2.
Kelompok menengah atau sedang.
Di lain pihak, kelompok
menengah yang melakukan permainan judi adalahdisebabkan tertarik untuk
memperoleh suatu kemenangan. Kelompok ini adalah kelompok yang menjurus pada
perbuatan pidana (korupsi, penggelapan). Perbuatan kejahatan tersebut dilakukan
untuk mengembalikan apa yang telah hilang dalam permainan judi.
3.
Kelompok masyarakat yang ekonominya
rendah.
Kelompok
terbesar yang ikut, dalam permainan judi adalah kelompok yang taraf hidupnya
masih rendah seperti tukang becak, bakul-bakul, penjual kecil, pegawai-pegawai
rendah, buruh harian, kuli-kuli yang tidak berpengharapan dan lain-lain yang
berpenghasilan sangat kecil dan hampir tidak mencukupi bagi jaminan hidup bagi
anggota keluarganya. Pada umumnya mereka itu menaruh harapan “semu” untuk
melipat gandakan uangnya. Gaji yang sangat minim, kondisi hidup yang tidak
menentu, ditambah dengan depresi ekonomi yang terasa makin berat, menyebabkan
mereka tidak berpengharapan dan sering berputus asa. Lalu berlangsunglah
lompatan mental pada pola kebiasaan spekulatif untung-untungan dengan jalan
berjudi, mengadakan pertaruhan, disertai pengaharapan mendapat sedikit
keuntungan dan tambahan uang belanja.[12]
Ditambah
dengan apatisme dan ketidaktahuan dengan cara bagaimana mereka harus
memperbaiki taraf kehidupan keluarga dan diri sendiri dalam krisis ekonomi.
Semua itu mendorong mereka mempertaruhkan sebahagian penghasilannya dengan
bermain judi.
Sebab-sebab
lain permainan judi ini timbul, tidak dapat kita lepaskan dari pengaruh
lingkungan, pendidikan formal dasar (agama) yang tipis dan keputusasaan dalam
mencari penghasilan yang tetap untuk menjamin kehidupan sehari-hari.
Dapat
diakui bahwa akses perjudian itu bisa merangsang orang untuk berbuat kriminal
seperti mencuri, merampok, korupsi, menggelapkan kas Negara dan melakukan
macam-macam tindakan susila lainnya.[13]
Menurut
norma Jawa, judi digolongkan dalam aktifitas 5-M (ma-lima) yang harus disingkirkan.
Karena judi itu dapat membuat orang menjadi malas, tidak mengenal rasa malu,
berkulit dan bermuka tebal, memakan harta orang lain dengan curang, menimbulkan
permusuhan, kebencian, memalingkan diri dari ingat kepada Allah SWT, merusak
pendidikan juga mendorong orang untuk selalu “merebut” kemenangan dan
menjadikan dirinya serakah serta gila kemenangan. Adapun 5-M itu adalah:
1) Minum-minuman
keras dan mabuk-mabukan.
2) Madon,
bermain dengan wanita pelacur.
3) Maling,
mencuri.
4) Madat,
minum candu, bahan narkotika, ganja dan lain-lain.
5) Main
judi bebatoh, berjudi dan bertaruh.[14]
Pada
masa sekarang ini khususnya di kota-kota besar dan kota-kota dagang serta
industri, norma-norma susila menjadi longgar dan sanksi-sanksi sosial jadi
lemah. Juga keyakinan akan norma-norma religius jadi menipis.
Ketentuan-ketentuan agama dalam pelarangan perjudian tidak dihiraukan sama
sekali, sebabnya ialah:
1. Sebagian
anggota masyarakat sudah kecanduan perjudian, taruhan dan lottere yang semuanya
bersifat untung-untungan. Maka via perjudian dan pertaruhan mereka mengharapkan
keuntungan besar dalam waktu pendek dengan cara yang mudah untuk kemudian dapat
merambat status sosial yang tinggi.
2. Perjudian
itu dianggap sebagai peristiwa biasa sehingga orang bersikap acuh tak acuh
terhadapnya.[15]
Dengan
demikian sebab-sebab timbulnya perjudian dapat dikatakan menyangkut segala
aspek kegiatan dan kehidupan masyarakat, sehingga dapat di bayangkan bahwa
untuk memberantas permainan judi hampir-hampir merupakan fiksi sebagaimana
memberantas pelacuran.
b. Usaha Pencegahannya
Dalam
usaha-usaha pencegahannya, pemerintah harus mengambil langkah dan usaha untuk
menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasi sampai lingkungan
sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju penghapusan sama sekali dari seluruh Indonesia.
Menurut Kartini Kartono
usaha yang mungkin dilakukan sebagai pencegahan adalah sebagai berikut:
1) Mengadakan
perbaikan ekonomi nasional secara menyeluruh menetapkan undang-undang atau
peraturan yang menjamin gaji minimum bagi buruh, pekerja dan pegawai yang
sepadan dengan biaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Memperluas lapangan
kerja, sandangpangan serba murah, dan adanya jaminan perumahan. Rasa aman
terjamin secara sosial pasti akan sangat mengurangi nafsu-nafsu berspekulasi
dan kecenderungan main untung-untungan dengan menyertakan pertaruhan (berjudi).
2) Adanya
keseimbangan antar budget dipusat dan didaerah-daerah periferi. Sebab, oleh
adanya diskriminasi pemberian budget, timbullah kemudian rasa tidak puas. Lalu
orang bergerak mengadakan usaha-usaha penambahan biaya pembangunan dan
pemeliharaan dengan cara-cara inkonvensional dengan perjudian.
3) Menyediakan
tempat-tempat hiburan dan rekreasi yang sehat. Disertai intensifikasi
pendidikan pendidikan mental dan ajaran-ajaran agama.
4) Khusus
untuk mengurangi jumlah judi buntut, dengan jalan menurunkan nilai jumlah
hadiah tertinggi dari macam-macam lottere resmi, lalu menambah jumlah
hadiah-hadiah hiburan lainnya. Dengan begitu Bandar-bandar dan agen-agen akan
lenyap dengan sendirinya.
5) Lokalisasi
perjudian khusus bagi wisatawan-wisatawan asing, golongan ekonomi kuat
(kaum The Haves). Dengan memberikan konsensi pembukaan kasino-kasino dan
tempat-tempat judi, kegiatan-kegiatan bisa diawasi. Diadakan pelanggaran
memasuki kasino-kasino mewah bagi golongan masyarakat tertentu. Misalnya rakyat
jelata tidak diperkenankan masuk, dan dikhususkan bagi para wisatawan,
orang-orang berduit, warga negara keturunan asing dengan ekonomi kuat, dan
lain-lain. Khususnya judi jenis ini diadakan untuk menyedot “uang panas” yang
banyak beredar di sektor komersial, guna dimanfaatkan sebagai pembiayaan
pembangunan. Keuntungan lain dari lokalisasi tersebut ialah: rakyat tidak
menjadi korban penipuan Bandar-bandar gelap.
6) Alternatif
lain ialah: larangan praktek judi disertai tindakan reventif dan unitif (hukum
dan sanksi) secara konsekwen dan tidak secara setengah-tengah.[16]
Dengan
cara yang demikian diharapkan permainan judi secara maksimal dapat menurun
intensitasnya, dan untuk selanjutnya diberantas hingga hilang sama sekali di Indonesia.
BAB
III
P
E N U T U P
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa judi adalah suatu permainan dengan memakai uang sebagai
taruhan seperti main dadu, kartu dan sebagainya. Judi dapat juga bermakna
mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan
kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar
dari pada jumlah uang atau harta semula. Sedangkan judi buntut adalah perjudian
liar dengan cara menebak nomor akhir dari undian resmi.
Di dalam penjelasan
resmi pada bagian umum Qanun Maisir dicantumkan kembali pengertian ini dengan
redaksi: “Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan dalam bentuk
permainan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang
menang mendapatkan bayaran.”
DAFTAR
PUSTAKA
Ibrahim
Hossen, Apakah Judi Itu?, Lembaga
Kajian Ilmu IIQ, Jakarta, 1987
M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah:
Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. I, Lentera Hati, Jakarta,
2000,
Sianturi,
S.R Tindak Pidana di KUHP
Berikut Uraiannya, Alumni AIIM-PTHM, Jakarta, 1983
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
1999
Al-Yasa’
Abubakar, Syari’at Islam Di Nanggroe
Aceh Darussalam, Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari’at Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005
Moch Anwar, Hukum Pidana Bahagian Khusus (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Buku II), Alumni,: Bandung, 1978
[1]
Ibrahim Hossen, Apakah
Judi Itu?, Lembaga Kajian Ilmu IIQ,
Jakarta, 1987, hal. 19.
[2]
M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. I, Lentera Hati, Jakarta, 2000,
hal. 437.
[4]
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya,
Alumni AIIM-PTHM, Jakarta, 1983, hal. 278.
[5]
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
1999, hal. 200.
[6]
Al-Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam,
Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari’at Islam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, 2005, hal. 266.
[7]
Ibid, hal. 267.
[8]
Ibid.
[10]
Moch Anwar, Hukum Pidana Bahagian Khusus (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Buku II), Alumni, Bandung, 1978, hal. 225
[12]
Hepy Parenza, Tindak Pidana Perjudian (Suatu
Penelitian Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Lhokseumawe), Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, 2005, hal. 22.
[13]
Abdul Rasyid, Tindak Pidana Perjudian, Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, 1977, hal. 24.
[14]
Abd Al-‘Admizim Ma’ani,
Ahmad Al-Ghundur, Hukum-Hukum dari
Al-Qur’an dan Hadits, Secara Etimologi Sosial dan Syariat, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 2003, hal. 43.
[15]
Kartini Kartono, Dalil Mutiara Tafsir KUHP, disadur oleh
Bintang Indonesia, Jakarta, 1992, hal. 203.
[16]
Ibid, hal. 84.